Keruhnya Dunia Pendidikan Kita

Dalam dunia pendidikan di Indonesia berkembang wacana bahwa keguruan atau kependidikan posisinya lebih rendah dari pada non kependidikan atau biasa dikenal sebagai ilmu murni. Meski tak tertulis secara formal, baik dalam Sistem Pendidikan Nasional maupun peraturan di bawahnya, wacana tersebut hidup dan dihidupi dalam bentuk berbagai kebijakan dan praksis pendidikan. Pada akhir abad ke-20, melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional, berbagai Lembaga Pendidikan yang berbentuk IKIP diubah dan berubah menjadi universitas. IKIP Negeri Yogyakarta berubah menjadi Universitas Negeri Yogyakarta, IKIP Negeri Malang berubah menjadi Universitas Malang dan sebagainya. Hanya IKIP bandung yang mempertahankan ikon keguruannya dengan bermutasi menjadi Universitas Pendidikan Indonesia. Fenomena tersebut mengindikasikan adanya pandangan bahwa universitas lebih baik dari pada institut keguruan, paling tidak pada level pengambil kebijakan.
Wacana yang sama juga dapat disimak dari keputusan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi tentang Pendidikan Profesi Guru (PPG). Pada umumnya, pendidikan profesi ditujukan untuk sarjana yang disiplin ilmunya sealur, seperti Profesi Apoteker yang khusus diadakan bagi sarjana Farmasi, Profesi Dokter bagi sarjana Kedokteran, Profesi Notaris dari sarjana Hukum. Akan tetapi, khusus untuk Profesi Guru, pesertanya tidak harus berbekal sarjana kependidikan. Direktorat Pendidikan Tinggi pada tanggal 24 Oktober 2008 melakukan rilis berita sebagai berikut:
Pemerintah menyediakan tempat 40.000 kursi bagi sarjana jurusan apa pun untuk mengikuti Pendidikan Profesi Guru. Berbekal sertifikat pendidikan profesi inilah, sarjana bisa melamar menjadi guru pegawai negeri sipil maupun guru swasta.
”Nantinya, yang bisa menjadi guru hanyalah mereka yang memiliki sertifikat Pendidikan Profesi Guru,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal di Jakarta, Rabu (22/10). Penetapan kuota 40.000 calon guru itu sudah mendekati kebutuhan riil guru untuk menggantikan guru yang pensiun dan permintaan tenaga pendidik baru
Menurut Fasli, sarjana nonpendidikan yang bisa mengikuti pendidikan ini adalah para sarjana yang ingin menjadi guru mata pelajaran di tingkat SMP, SMA dan SMK. Adapun untuk menjadi guru TK dan SD, hanya bisa diikuti sarjana pendidikan TK dan SD.
Pendidikan Profesi Guru, lanjut Fasli, untuk sarjana nonpendidikan berlangsung selama enam bulan, sementara untuk sarjana pendidikan TK dan SD selama satu tahun. (http://dikti.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=222&Itemid=54)
Pada alinea pertama sepertinya pemerintah menyamakan antara sarjana kependidikan dan non kependidikan. Mereka memiliki peluang yang sama untuk mengikuti PPG. Akan tetapi, apabila dicermati pada alinea terakhir, secara jelas bahwa sarjana non kependidikan dipandang jauh lebih tinggi nilainya dari pada sarjana kependidikan. Sarjana non kependidikan mengikuti PPG hanya dalam waktu 6 bulan, sedang sarjana kependidikan harus menempuhnya dalam jangka waktu satu tahun.
Pro kontra terhadap kebijakan pemerintah dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan pada Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) dan lulusannya sangat mungkin terjadi. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah pandangan dan perlakuan yang bernada merendahkan tersebut memang sudah layak dan sepantasnya ditujukan kepada LPTK dan lulusannya? Agar tidak terjebak pada sikap reaktif dengan mencari kambing hitam, perlu kiranya permasalahan tersebut dibawa ke ranah reflektif internal. Dengan mengasumsikan bahwa berkembangnya wacana tersebut merupakan realitas, dengan demikian sepenuhnya benar, maka perlu dipertanyakan mengapa kita (LPTK dan lulusannya) dipandang kurang berkualitas?
Dalam penelusuran yang dilakukan, paling tidak ditemukan dua permasalahan yang menjadikan LPTK dan lulusannya dipandang kurang berkualitas, yaitu kurikulum dan praksis pembelajaran. Pada aspek kurikulum, semua prodi di LPTK menyusun dan menjalankan kurikulum yang memiliki banyak kesamaan dengan prodi non kependidikan yang sejenis. Dari observasi awal yang dilakukan, ditemukan sekitar 60 – 70% kurikulum di prodi LPTK sama dengan kurikulum di prodi non kependidikan. Kesamaan semakin tampak pada praksis pembelajarannya. Sebagai contoh, pada kesempatan ini diambilkan dari silabus Pendidikan Sejarah FKIP dan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dari salah satu universitas. Dilihat dari silabus antara mata kuliah yang sama atau sejenis, sulit untuk mengatakan bahwa antara Pendidikan Sejarah dan Ilmu Sejarah terdapat perbedaan esensial yang signifikan. Sebagai gambaran adalah mata kuliah Sejarah Eropa Klasik. Silabus mata kuliah Sejarah Eropa Klasik di Prodi Pendidikan Sejarah adalah sebagai berikut (Untuk efisiensi, hanya ditampilkan 3 dari 7 kolom):
KOMPETENSI DASAR MATERI POKOK/ PEMBELAJARAN INDIKATOR
1. Mendeskripsikan, menganalisis dan menyimpulkan berbagai sumber sejarah, pengertian, ungkapan dan dampak peradaban klasik Yunani dan Romawi 1. Sumber sejarah Yunani dan Romawi klasik dan proses penggaliannya. 1. Menjelaskan tokoh dan sumber sejarah untuk Yunani dan Romawi klasik.
2.Konsep peradaban, kebudayaan dan ungkapan-ungkapan peradaban Yunani serta Romawi klasik. 2. Menganalisis, membandingkan dan menjelaskan makna peradaban, ungkapan-ungkapannya baik di Yunani maupun di Romawi.
2. Membandingkan, menganalisis dan menyimpulkan kehidupan dan perkembangan politik, sosial-ekonomi, budaya, filsafat dan iptek bangsa : Yunani sejak abad ke 6 BC dan Romawi abad ke 2 BC hingga keruntuhannya pada abad ke 5 Masehi serta dampaknya untuk Eropa 1. Kehidupan di polis-polis Yunani dalam bidang politik, sosial-ekonomi, kebudayaan, iptek  dan filsafat. 1. Menganalisis, membandingkan dan menjelaskan seluk beluk ciri, kehidupan politik, sosial-ekonomi,budaya , filsafat dan iptek polis-polis di Yunani.
2. Dari Republik sam pai kekaisaran Romawi: aspek sosial-ekonomi, politik, kebudayaan dan iptek. 2. Menganalisis, membandingkan dan menjelaskan kehidupan sosial-ekonomi, politik, budaya dan filsafat dari masa Republik sampai kekaisaran Romawi.
3. Kekaisaran Romawi dalam kehidupan politik, sosial-ekonomi, budaya dan dampaknya bagi Eropa dan Timur Tengah. 3. Menganalis dan menjelaskan kehidupan politik, sosial-ekonomi, budaya dan dampaknya bagi Eropa dan Timur Tengah.
3. Menganalisis dan menyilkan perkembangan Kekristenan dan Bizantium dalam bidang politik, ekonomi, budaya dan agama serta dampaknya untuk Eropa 1. Masuk,latarbelakang perkembangan Kekris tenan dan dampaknya untuk Eropa. 1.Menganalisis dan menjelaskan latarbelakang perkembangan Kekris tenan dan dampaknya untuk Eropa.
2. Sebab runtuhnya Romawi Barat dan terbentuk dan perkembangan Bizantium. 2.Menganaliisis dan smenjelaskan Sebab runtuhnya Romawi Barat dan terbentuk dan perkembangan Bizantium.
Tujuan: mahasiswa mampu memahami tahap-tahap perkembangan kebudayaan masyarakat Barat periode Klasik, kecenderungan-kecenderungan setiap tahap, kontinuitas dan perubahan antar tahap, serta kebudayaan yang dihasilkannya dalam setiap tahap. Cakupan: 1. Peradaban Pra Eropa: Mesir-Mesopotamia, 2. Peradaban Yunani, 3. Sejarah Peradaban Romawi, 4. Pertumbuhan dan Perkembangan agama Kristen di Eropa.

Sedang di Prodi Ilmu Sejarah, silabusnya adalah sebagai berikut:
Tujuan: mahasiswa mampu memahami tahap-tahap perkembangan kebudayaan masyarakat Barat periode Klasik, kecenderungan-kecenderungan setiap tahap, kontinuitas dan perubahan antar tahap, serta kebudayaan yang dihasilkannya dalam setiap tahap.

Cakupan:
1. Peradaban Pra Eropa: Mesir-Mesopotamia,
2.  Peradaban Yunani,
3. Sejarah Peradaban Romawi,
4. Pertumbuhan dan Perkembangan agama Kristen di Eropa.
Dari kedua silabus nampak bahwa format yang digunakan oleh Pendidikan Sejarah jauh lebih baik, karena sesuai dengan KTSP dan disusun dengan berlandas pada kompetensi. Akan tetapi, apabila dicermati lebih mendalam, secara esensial kedua silabus sama, yaitu mengembangkan pemahaman peserta didik terhadap sejarah Eropa pada periode Klasik.
Permasalahannya apakah berbagai kesamaan sungguh-sungguh yang dikehendaki oleh Pendidikan Sejarah sebagai cabang ilmu pengetahuan? Apabila mata kuliah yang disusun dalam kurikulum sungguh-sungguh telah sesuai dengan tanggungjawab keilmuan pendidikan sejarah, berarti hubungan antara Ilmu Sejarah dengan Pendidikan Sejarah adalah dikodratkan bagaikan arsitek dan tukang. Dengan kata lain, Pendidikan Sejarah merupakan hasil aplikasi/penyederhanaan/adaptasi Ilmu Sejarah untuk tujuan pembelajaran. Hal ini mengingatkan terjadinya “penghinaan” terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan sebelum berubah menjadi universitas. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Teacher Training Center dan bukan Institute of Education.
Dari contoh yang terdapat pada Pendidikan Sejarah, pertanyaan yang muncul kemudian adalah: benarkah identitas LPTK hanya sekedar pusat pelatihan keterampilan mengajar? Benarkah LPTK hanya mencetak tukang mengajar hasil kerja ilmu-ilmu non kependidikan kepada siswa melalui persekolahan? Apabila pertanyaan tersebut diajukan kepada ilmu-ilmu non kependidikan di Indonesia, jawabnya adalah “Ya”. Hal itu tampak dari kecenderungan mutakhir bahwa pada kurikulum mereka mulai disisipkan mata kuliah pembelajaran, seperti pada Prodi Sastra Inggris  terdapat mata kuliah teaching English, dan mata kuliah Pembelajaran Sejarah pada Prodi Ilmu Sejarah. Kecenderungan ini semakin meluas, bahkan sampai Institut Tenologi Bandung.
Sebaliknya, apabila pertanyaan di atas disampaikan kepada ilmu kependidikan, jawabnya kurang lebih “Tentu saja tidak”, dengan alasan dari aspek teori, konsep maupun berbagai hal yang bersifat ideal atau “Yang seharusnya”. Dari jawaban atas pertanyaan tentang identitas, tampak bahwa dalam diri LPTK terjadi krisis sebagai akibat praksis yang jauh menyimpang dari “Yang seharusnya”. Bahkan sangat mungkin pada tingkat persekolahan, para guru tidak lagi memahami dan menghayati landasan kependidikan, tetapi meyakini bahwa praksis yang mereka lakukan itulah “Yang seharusnya”.

Komentar