Memperbaiki Penulisan Sejarah Dalam Buku Teks

Tentang seminar nasional sejarah I tahun 1957, secara garis besar, temuan Klooster dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, di kalangan sejarawan terdapat ketidakpuasan terhadap penulisan sejarah kolonialistik yang dikembangkan pada masa penjajahan Belanda, karena tidak mengungkapkan vitalitas yang dimiliki masyarakat Indonesia (Klooster, 1985: 23). Kedua, di kalangan sejarawan berkembang kesadaran perlunya sejarah nasional Indonesia yang nasionalistik, yaitu menempatkan masyarakat Indonesia sebagai pemeran sentral. Ketiga, terdapat perbedaan pandangan di antara peserta seminar, terutama Soedjatmoko dan Muhammad Yamin, tentang landasan filosofis dan metodologi yang digunakan untuk menyusun sejarah nasional Indonesia (Klooster, 1985: 75-87).

Pada periode terakhir, yaitu masa demokrasi terpimpin dan orde baru, Klooster menemukan kecenderungan penulisan sejarah lokal oleh sejarawan akademik. Seakan ada pemahaman umum bahwa untuk menyusun sejarah nasional yang komprehensif harus memahami sebanyak mungkin sejarah lokal atau daerah. Para sejarawan meneliti berbagai fenomena historis dengan fokus terutama pada kajian sosial ekonomi untuk memperoleh pemahaman pengaruh kolonial terhadap kehidupan masyarakat daerah (Klooster, 1985: 121).

Pada pembahasan tentang Seminar Nasional Sejarah II tahun 1970, Klooster menjelaskan bahwa telah terjadi perubahan penting, yaitu pandangan yang lebih positif terhadap keberadaan penjajahan Belanda. Peserta seminar lebih tertarik pada praktek penelitian dari pada debat tentang filsafat dan teori sejarah. Satu-satunya yang keluar alur besar seminar adalah kritik M.D. Mansoer. Dia menyatakan bahwa sejarawan Indonesia telah terpengaruhi oleh perubahan zaman, sehingga justru menyebarkan ideologi kolonial (Klooster, 1985: 27).
Dari kritik tersebut dapat ditengarai bahwa telah terjadi perubahan yang cukup besar di kalangan sejarawan, terutama menyangkut semangat untuk menyusun sejarah nasional yang mampu menanamkan nasionalisme kepada generasi muda Indonesia. Perubahan juga terjadi pada penulisan buku teks pelajaran sejarah, seperti dijelaskan sebagai berikut:

In 1955 verschijnt het leerboek van Sutjipto Wirjosuparto, dat kan worden beschouwd als de eerste poging een consequent nationalistisch geschiedbeeld te ontwerpen. Het boek wordt gekenmerkt door een sterke tegenstelling tussen kolonisatoren en gekoloniseerden. Het loopt hiermee vooruit op de gaya baru, de onderwijskundige uitwerking van de geleide democratie. De eigenaardigheden van de gaya baru zijn in de schoolboeken vanaf omstreeks 1960 terug te vinden in uitweidingen over oer-Indonesische instellingen van overleg en samenwerking (het "Indonesisch socialisme"), de idealisering van de dorpsgemeenschap en antikapitalisme. Aan de ene kant is er een toegenomen belangstelling voor Indonesische geschiedenis los van de koloniale ontwikkeling, aan de andere kant blijft de tegenstelling tussen kolonisatoren en gekoloniseerden een dominant thema. In de jaren na de coup verdwijnen veel gaya baru-kenmerken geleidelijk uit de leerboeken. De nadruk wordt gelegd op de vorming van de Pancasila-mens. De belangstelling voor "echte" Indonesische geschiedenis blijft bestaan en neemt nog toe door de richtlijnen van 1975, die een diachronisch-thematische behandeling van de stof voorschrijven (Klooster, 1985: 213).

Pada kutipan di atas Klooster menjelaskan bahwa buku teks karangan Sutjipto Wirjosuparto merupakan karya yang nasionalistik dengan memberikan gambaran yang kontras antara penjajah dan pihak terjajah. Buku teks tersebut dapat ditempatkan sebagai persiapan kurikulum gaya baru yang diberlakukan pada masa demokrasi terpimpin dengan ciri khasnya anti kapitalisme dan mengidealkan komunalisme pedesaan. Akan tetapi, secara bertahap isi buku teks berubah sejak berlangsungnya kudeta pada tahun 1965. Pada masa berlakunya kurikulum 1975, isi buku teks pelajaran sejarah menggabungkan aspek diakronik dengan tematik.

Komentar